Minggu, 20 Januari 2013

Kerukunan Antar Umat Beragama


Kata Pengantar
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyusun makalah ini. Karena tanpa izin-Nya saya tidak akan dapat menyelesaikan makalah ini. Saya juga mengucapkan terimakasih pada dosen yang telah memberi pengarahan dalam menyusun makalah ini dan juga dari berbagai sumber yang tulisannya telah saya kutip untuk menyusun makalah ini. Kritik dan saran saya butuhkan, karena mungkin dalam susunan makalah ini belum sempurna. Semoga apa yang telah saya susun dapat bermanfaat bagi pembaca.

BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Banyaknya konflik yang melibatkan agama sebagai pemicunya menuntut
adanya perhatian yang serius untuk mengambil langkah-langkah yang
antisipatif demi damainya kehidupan umat beragama di Indonesia pada masamasa
mendatang. Jika hal ini diabaikan, dikhawatirkan akan muncul masalah
yang lebih berat dalam rangka pembangunan bangsa dan negara di bidang
politik, ekonomi, keamanan, budaya, dan bidangbidang lainnya.
Adanya perubahan era seperti sekarang ini seharusnya meningkatkan
kesadaran masyarakat kita akan arti penting persatuan dan kesatuan. Akan
tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Angin reformasi membawa
dampak kebebasan yang kurang terkendali. Hal ini akan sangat berbahaya
ketika terjadi di tengah-tengah bangsa yang tingkat heterogenitasnya cukup
tinggi seperti Indonesia.
Rakyat Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat yang cinta damai dan
diikat oleh rasa persatuan nasional untuk membangun sebuah negara yang
majemuk. Persatuan ini tidak lagi membeda-bedakan agama, etnis, golongan,
kepentingan, dan yang sejenisnya. Oleh karena itu, konsep yang cocok untuk
konteks Indonesia adalah konsep masyarakat madani.
Konsep masyarakat madani sebenarnya berasal dari konsep politik Islam
yang secara historis pernah dipraktekkan pada masa awal pemerintahan Islam
di bawah kendali Nabi Muhammad SAW. Realitas politik pada masyarakat awal
Islam (masa al-salaf al-shalih), menurut Nurcholish Madjid (1999, h. 24),
memiliki bangunan kenyataan politik yang demokratis dan partisipatoris yang
menghormati dan menghargai ruang publik, seperti kebebasan hak asasi,
partisipasi, keadilan sosial, dan lain sebagainya.



1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan:
1.    Agar pembaca mengetahui kerukunan antar umat beragama;
2.    Agar pembaca mengetahui konsep masyarakat madani;
3.    Agar pembaca mengetahui syariat islam dan kerukunan umat beragama;
4.    Agar pembaca mengetahui kerukunan beragama di zaman Rasulullah;
5.    Agar pembaca mengetahui islam dan kerukunan umat beragama;

BAB 2
Pembahasan

2.1 Kerukunan Antarumat Beragama
Kerukunan antarumat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan
oleh bangsa yang majemuk dalam hal agama. Jika toleransi beragama tidak
ditegakkan, bangsa atau negara tersebut akan menghadapi berbagai konflik
antarpemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar
umat beragama, harus diupayakan pemahaman yang benar dan ditemukan
cara untuk menciptakan kerukunan tersebut.
Kerukunan antarumat beragama dalam pandangan Islam (seharusnya)
merupakan suatu nilai yang terlembagakan dalam masyarakat. Islam
mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal karena Tuhan telah
mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia (QS. al-Nahl (16): 36).
Selain itu, ajaran Islam juga mengajarkan tentang pandangan tentang kesatuan
kenabian (nubuwwah) dan umat yang percaya kepada Tuhan (QS. al-Anbiya’
(21): 92).
Ditegaskan juga bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
(Islam) adalah kelanjutan langsung agama-agama yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya (QS. al-Syura (42): 13). Oleh karena itu, Islam memerintahkan
umatnya untuk menjaga hubungan baik dengan para pemeluk agama lain,
khususnya para penganut kitab suci (Ahli Kitab) (QS. al-’Ankabut (29): 46).
Prinsip-prinsip Islam seperti yang terbubuh dalam ayat-ayat al-Quran di
atas membawa konsekuensi adanya larangan untuk memaksakan agama (QS.
al-Baqarah (2): 256). Ayat ini, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi, seperti dikutip
oleh Nurcholish Madjid (1990, h. 110), diturunkan karena ada anak-anak kaum
Anshar di Madinah yang tidak mau mengikuti jejak orangtua mereka untuk
memeluk Islam dan memilih agama Yahudi yang sudah mereka kenal, tetapi
kemudian orangtua mereka ingin memaksa mereka memeluk agama Islam.
Hal ini mendapat penegasan firman Allah, ”Dan jika seandainya Tuhanmu
menghendaki, maka pastilah beriman semua orang di bumi, tanpa kecuali.
Apakah Engkau (Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka
beriman semua?” (QS. Yunus (10): 99). Pendirian ini perlu dikemukakan karena
sampai sekarang masih dirasakan kekurangpercayaan kepada prinsip ini dari
berbagai kalangan.
Umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapa pun
dari kalangan nonMuslim yang tidak menunjukkan sikap permusuhan
berdasarkan prinsip di atas. Pada zaman Nabi SAW, telah terjalin hubungan
yang baik dari beberapa kelompok non-Muslim dengan kelompok Muslim. Pemerintahan Islam banyak menunjukkan toleransi kepada umat-umat
beragama lain. Golongan minoritas mendapatkan perlindungan dari pemerintah
Islam dan dapat menjalin hubungan dengan masyarakat Muslim dengan baik
dalam melaksanakan berbagai aktivitasnya.
2.2 Konsep Masyarakat Madani
Istilah “madani” berasal dari bahasa Arab “madaniy”. Kata “madaniy
berakar pada kata kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal, atau
membangun. Dalam bahasa Arab, kata “madaniy“ mempunyai beberapa arti, di
antaranya yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau
perdata (Munawwir, 1997, h. 1320). Dari kata “madana” juga muncul kata
madiniy” yang berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Secara kebetulan
atau dengan sengaja, bahasa Arab menangkap persamaan yang sangat
esensial di antara peradaban dan urbanisme.
Dengan mengetahui makna kata “madani”, maka istilah “masyarakat
madani” (al-mujtama’ al-madaniy) secara mudah bisa dipahami sebagai
masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di
suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan masalah
pluralisme. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu bentuk
tatanan masyarakat yang bercirikan hal-hal seperti itu, yang tercermin dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Masyarakat madani dalam bahasa Inggris sering diistilahkan sebagai civil
society atau madinan society. Adam B. Seligman (dikutip dalam Abdul Mun’im,
1994, h. 6) mendefinisikan civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang
mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari
gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan
kepentingan antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat sendiri
dengan kepentingan negara.
Dalam perbincangan ini, masyarakat sipil tidak dihadapkan dengan
masyarakat militer yang memiliki power yang berbeda. Civil society
(masyarakat sipil), sesuai dengan arti generiknya, bisa dipahami sebagai

civilized society (masyarakat beradab) sebagai lawan dari savage society
(masyarakat biadab).
Vaclav Havel (dikutip dalam Muhammad AS Hikam, 1994, h. 6)
menerangkan bahwa dalam civil society, rakyat sebagai warga negara mampu
belajar tentang aturan-aturan main lewat dialog demokratis dan penciptaan
bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil
society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam
masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara
normatif-politis, inti strategi ini adalah upaya memulihkan kembali pemahaman
asasi bahwa rakyat sebagai warga memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban kepada para penguasa atas apa yang mereka lakukan
atas nama bangsa.
Kedua tinjauan konsep masyarakat madani di atas, baik melalui
pendekatan bahasa Arab maupun bahasa Inggris, pada prinsipnya
mengandung makna yang relatif sama dan sejalan, yaitu menginginkan suatu
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban dan demokrasi.
Meskipun konsep tentang masyarakat madani tidak dapat dianalisis secara
persis, mana sebenarnya konsep yang digunakan sekarang ini, berfungsinya
masyarakat madani jelas dan tegas ada dalam inti sistem-sistem politik yang
membuka partisipasi rakyat umum. Konsep masyarakat madani (civil society)
kerap kali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan
otoriter dan menentang pemerintahan sewenang-wenang di Amerika Latin,
Eropa Selatan, dan Eropa Timur (Madjid, 1997, h. 294).
Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik Islam sebenarnya
didasarkan pada prinsip kenegaraan yang diterapkan pada masyarakat
Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Madinah
adalah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama.
Islam datang ke Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang
mengikat aneka ragam suku, konflik, dan perpecahan.
Negara Madinah secara totalistik dibangun di atas dasar ideologi yang
mampu menyatukan Jazirah Arab di bawah bendera Islam. Ini adalah babak
baru dalam sejarah politik di Jazirah Arab. Islam membawa perubahan radikal
dalam kehidupan individual dan sosial Madinah karena kemampuannya
mempengaruhi kualitas seluruh aspek kehidupan (Akram Dliya’ al-Umari, 1995.
h. 51).
Prinsip dasar yang lebih detail mengenai masyarakat madani ini diuraikan
oleh Prof. Akram Dliya’ al-Umari dalam bukunya al-Mujtama’ al-Madaniy fi ‘Ahd
al-Nubuwwah (Masyarakat Madani pada Periode Kenabian). Buku ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Madinan Society at the Time of
Prophet (1995). Dalam buku ini al-Umari menjelaskan secara panjang lebar
mengenai dasar-dasar yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
mewujudkan masyarakat madani (masyarakat Madinah).
Al-Umari (1995, h. 63-120) menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip
dasar yang bisa diidentifikasi dalam pembentukan masyarakat madani, di
antaranya adalah sebagai berikut.
a) Adanya sistem muakhah (persaudaraan).
b) Ikatan iman.
c) Ikatan cinta.
d) Persamaan si kaya dan si miskin.
e) Toleransi umat beragama.
Prinsip-prinsip masyarakat madani seperti itu sangat ideal untuk
diterapkan di negara dan masyarakat mana pun, tentunya dengan
penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya
yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Namun, masih banyak konsep
masyarakat madani yang berkembang di kalangan pemikir kita yang didekati
dari konsep lain, bukan dari konsep seperti itu. Salah satunya adalah konsep
civil society (masyarakat sipil). Seorang pemikir Mesir, Fahmi Huwaydi (dikutip
dalam Wawan Darmawan, 1999, h. 21), berpendapat bahwa orang pertama
yang membicarakan tentang “pemerintahan sipil” (civilian government) atau
masyarakat madani adalah seorang filosof Inggris, John Locke, yang telah
menulis buku Civilian Government pada 1960. Setelah John Locke, di Perancis
muncul JJ. Rousseau, yang terkenal dengan bukunya The Social Contract
(1762).
2.3 Syari’at Islam dan Kerukunan Umat Beragama
Syari'at Islam
Pengertian Syari’at Islam
Syari‟at Islam berasal dari dua kata yaitu Syari‟at dan Islam, keduanya
berasal dari bahasa Arab. Syari'at berarti : “jalan yang lurus, tempat yang didatangi
oleh manusia/binatang untuk meminum airnya"(Hasbi 1975 :31-32. Disyari'atkan
berarti ditetapkan, demikian yang dapat dipahamkan dari firman Allah:
شَسَعَ نَكُىْ يِ اندِّٚ يَب صََّٔ بِ حًَُٕب أَنَّرِ أَ حَْْٔٛ بَُ إِنَْٛكَ ئََب صََّْٔٛ بَُ بِ إِبْسَا ِْٛىَ ئَُ سَٕ عَِٔٛسَ "Ditetapkan kepada kamu apa-apa yang Kami telah wasiatkan kepada Nuh, sebagaimana juga
telah Kami wahyukan kepadamu”.
Islam berarti: "selamat, sejahtera dan berserah diri"(Isa Sarul 71: 28).
Karenanya setiap Muslim dituntut oleh Syari' (Allah) untuk mengikutinya dengan
penuh kepasrahan (tawakkal), yang tumbuh dari hati sanubarinya sebagai
perwujudan rasa berserah diri kepada-Nya. Rasa berserah diri ini akan tampak jelas
dalam pengakuan seorang muslim dalam shalatnya :
إِ صَلاتِٙ سََُُٔكِٙ ئََحَْٛب ئََ بًَتِٙ لِِلَِّّ زَةِّ انْعَبنَ ًِٛ . لا شَسِٚكَ نَ بَِٔرَنِكَ أُيِسْثُ أََٔ بََ
أَ لَُّٔ انْ سًُْهِ ًِٛ Artinya: "Sesungguhnya shalatku, dan amal perbuatanku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah
Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, demikianlah aku diperintahkan dan aku
termasuk golongan orang yang berserah diri”
Dalam literatur Islam ada dua term yang sering digunakan dalam berbicara
masalah Hukum Islam yaitu syari‟at dan fiqh. Dalam pemakaian sehari-hari orang
sering menyamakan arti antara syari‟at dan fiqh, padahal pengertian keduanya jauh
berbeda, dan sikap mempersamakannya mempunyai efek yang sangat merugikan
umat Islam karena akan menumbuhkan sikap taqlid yang mematikan kreativitas
berfikir.
Sehubungan dengan pengertian syari'at dan fiqh dimaksud, Mahmassani
(1977: 22-26) seorang Dosen Hukum Islam pada Fakultas Hukum Perancis di Beirut
memberikan penjelasan sebagai berikut :
Syari'at adalah f'irman Allah atau Syari' yang memberi faedah hukum. Atau dengan
perkataan lain menurut para ahli ushul firman Allah yang ditujukan kepada orang-orang mukallaf
yaitu orang-orang yang sudah cakap bertanggung jawab hukum; ... . Atau boleh juga dikatakan,
kaedah hukum yang ditentukan oleh syari'at mengenai katentuan hukumnya sesuatu, .... Tegasnya
bahwa syari'at adalah hukum Allah yang disampaikan atas lisan nabi-Nya Muhammad saw.,
sedangkan fiqh adalah ilmu untuk mengetahui masalah masalah hukum secara praktis, yang
diperoleh dari dalil- dalil hukum perincian. Ini berarti bahwa seorang ahli fiqh diwajiblsan
mondasarkan segala ketentuan hukum yang diperolehnya itu atas dalil-dalil dan sumber-sumber
tempat cara pengambilannya dengan cara pendapat dan lstidlal”
Dengan memperhatikan pendapat di atas berarti bahwa dalam fiqh ada unsur
ijtihad, sedangkan dalam syari'at tidak ada. Hal itu dikarenakan syari'at
bersumberkan dalil-dalil yang jelas (qath'i), sedangkan fiqh bersumberkan dalil-dalil
yang samar (dzonni). Menurut Hasbullah Bakry (1968: 20) tentang perbedaan antara
syari'at dan fiqh ini yaitu :"Syari'at = Hukum Qur"an = Agama Islam murni =
Penilaiannya absolut = Berlaku untuk segenap zaman dan tempat. Hukum Fekih =
Prestasi budaya manusia di satu zaman dan satu tempat = Penilaiannya relatif =
Selalu in wording = Berobah terus disesuaikan dengan kehidupan manusia".
Tujuan Syari’at Islam
Karena manusia adalah makhluk sosial, diperlukan ketentuan yang mengatur
hubungan antar sesama manusia. Ketentuan yang mengaturnya itu adalah hukum.
Dengan perkataan lain, bahwa hukum itu adalah merupakan hal yang dibutuhkan
manusia. Hal ini terbukti dengan usaha manusia itu sendiri untuk merumuskan hukum.
Hukum ciptaan manusia hanya terbatas untuk memenuhi ketertiban hidup manusia (comfort)
di dunia saja, sedangkan Hukum Islam (Syari'at Islam) melangkah 1ebih jauh yaitu untuk
menciptakan kehidupan yang tertib dan harmonis didunia maupun di akhirat kelak,
sebagaimana firman Allah :
وابتغ في اَ اتاك الله اىدار الأخرة ولا ت سْ صّيبل اىد يّا
Artinya: Dan carilah dengan apa-apa yang didatangkan Allah (kepadamu) kebahagiaan hari
akhirat, dan janganlah kamu sia-siakan untuk mendapat kebahagiaanmu (nasibmu) di dunia.
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy (1975:32) menjelaskan bahwa ada lima tujuan
pokok Syari'at Islam yaitu: "memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan memelihara agama, dan memelihara harta". Dengan ketentuan
qishash, terpeliharalah jiwa manusia; dengan ketentuan munakahat, maka
tarpeliharalah keturunan; dengan ketentuan mawarits dan tata perekonomian
yang sehat, maka terpeliharilah harta; dan dengan mengikuti ketentuanketentuan
syara‟, maka akan terpeliharalah agama (Islam) dan aka1 manusia.
Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah
Secara garis besarnya Agama Islam itu terdiri dari tiga unsur yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan. Iman adalah merupakan ursur utama, jika tidak adanya Iman
unsur Islam dan Ihsan tidak akan ada, sedang Islam adalah unsur kedua dan Ihsan
adalah unsur ketiga. Ketiga unsur itu bersenyawa dalam Dienul Islam.
Dari ayat-ayat Al-qur'an dan hadits-hadits akan kita temui bahwa Iman
adalah memercayai akan Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhirat, dan Qadla
Qadlar. Sedangkan Islam adalah adanya kesaksian (pengakuan) akan ke-Esa-an
Allah dan ke-Rasul-an Muhamraad saw, mengerjakan shalat, menunaikan zakat,
mengerjakan puasa bulan Ramadlan dan hajji. Adapun Ihsan adalah suatu perasaan
dimana Allah selalu mengawasi manusia.
Keimanan adalah merupakan sendi utama (aqidah), dan sebagai perwujudan
dari keimanan itu adalah amal perbuatan (syari'ah), dan dari perpaduan antara
keduanya itu menimbulkan sikap ihsan. Karena itu berarti bahwa Islam itu
berintikan aqidah dan syari‟ah. Sebagaimana juga yang ditandaskan oleh Sayid
Sabiq (1974 : 15) :
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, dan ia adalah
agama yang, barintikan keimanan dan ama1 perbuatan. Keimanan itu merupakan aqidah dan
pokok diatasnya berdiri Syari’at Islam. Keimanan dan perbuatan, atau dengan kata lain aqidah
dan syari’ah, keduanya itu antara yang satu dengan yang lain sambung menyambung hubung
menghubungi dan tidak berpisah yang satu dengan yang lainnya. Keduanya adalah sebagai
pohon dengan buahnya sebagai musabbab dengan sababnya, atau sebagai natijah dengan
mukaddimahnya.
Tegasnya bahwa tanpa amal perbuatan (syari'ah) keimanan tidak berarti apaapa,
sedang perbuatan yang tidak dilandasi dengan keimanan juga akan sia-sia. Hal
ini terbukti dengan banyaknya kata 'amal shaleh yang mengiringi kata iman dalam
ayat-ayat A1-Qur‟an, dan memang pada hakekatnya pengertian keimanan itu sendiri
adalah menuntut adanya amal perbuatan. Bahkan Allah sangat mengecam orangorang
yang hanya berkata tanpa berbuat, sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللََِّّ أَنْ تَقُولُوا مَا لا
تَفْعَلُونَ .
Artinya :Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat ? Amat besar kabencian Allah bahwa kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan.

2.4 Kerukunan Beragama di Zaman Rasulullah
Kemerdekaan beragama (Freedom of Religious)
Dimaksudkan dengan kemerdekaan beragama menurut naskah Statement of
Religious liberty (Mansoer 1980: 27) yang pernah diumumkan di Amerika pada
waktu berkecamuknya Perang Dunia I1 ialah :
Religions liberty shall be interpreted to include freedom in worship according to conscience and
to bring up children in the faith of their parents; freedom to preach, educate publish and carry on
misssionary activities; and freedom to organize with others, and to acquire and hold property, for
these porpuse.
Dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah 256 Allah berfirman :
لا إِكْسَا فِٙ اندِّٚ قَدْ تَبََّٛ انسُّشْدُ يِ انْغَِّٙ
Artinya:Tidak ada paksaan untuk (memasuki.) agama (Islam) Sesungguhnva telah jelas jalan yang
benar daripada yang salah.
Menurut riwayat Ibnu Jurair dari Said yang bersumber dari Ibnu Abbas, asbabun
nuzul ayat diatas adalah :
Hushain dari Golongan Anshar suku Bani Salim yang mempunyai dua orang anak yang
beragama Nasrani, sedang dia sendiri beragama Islam. Ia bertanva kepada Nabi saw. : "bolehkah
saya paksa kedua anak itu, karena mereka tidak taat kepadaku, dan tetap ingin beragama
Nasrani?", maka turunlah ayat diatas.
Kemudian dalam surat Al-Hajj 17 Allah berfirman :
إِ انَّرِٚ آيَ إُُ أَنَّرِٚ بَْدُ أ أَنصَّببِئِٛ أَن صََُّبزَ أَنْ جًَُ سَٕ أَنَّرِٚ أَشْسَكُ إ إِ اللَََّّ
َٚفْصِمُ بَْٛ ىَُُْٓ َٚ وَْٕ انْقَِٛبيَتِ إِ اللَََّّ عَهَ كُمِّ شَْٙءٍ شَ ِٛٓدٌ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang -orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orangorang
Shabiin (orang-orang yang mengikuti syari’at Nabi-Nabi zaman dahulu atau orang-orang
yang menyembah dewa-dewa,orang-orang Majusi, orang-orang musyrik, Allah memberikan
keputusan diantara mereka dihari kiamat. Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu menjadi saksi
(Mengetahui).
Dalam Islam, kemerdekaan beragama adalah merupakan salah satu azaz
dalam pengembangan dan penyiarannya dan pemaksaan sama sekali tidak dapat
dibenarkan. Baik itu berupa pemaksaan pisik (ancaman pisik) maupun berupa
pemaksaan mental (pemboikotan ekonomi). Demikian konsep kemerdekaan beragama
yang diterapkan (diajarkan) oleh Rasulullah saw. dan para pemimpin Islam
(Khulafaur Rasyidin), bahkan terhadap para tawanan perangpun Islam tidak pernah
memaksakan mereka untuk memeluk agama Islam, dan peperangan yang dilaksakan
Islam hakekatnya adalah untuk mempertahankan kebebasan beragama. Karena peperangan
dilakukan adalah terhadap mereka yang menghalangi pelaksanaan
penyiaran Islam (defensive), bukan berupa expansive.
Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam telah lebih
dahulu mencanangkan kemerdekaan beragama, jauh sebelum di kumandangkannya
'Statement of Religious Liberty'. Karena itu, sungguh Islam adalah agama yang sangat
cocok untuk manusia yang berakal sehat.
Persamaan derajat manusia (Equality)
Disamping memproklamirkan kemerdekaan beragama, Islam juga
memproklamirkan persamaan derajat manusia. Tidak ada perbedaan antara
pimpinan dengan yang dipimpin; antara Kepala Negara dan Rakyat Jelata; juga
tidak ada perbedaan antara bangsa Kulit Putih dengan bangsa Kulit Hitam. Manusia
secara keseluruhannya adalah makhluk Allah, yang diciptakan-Nya dari asal yang
satu yaitu Nabi Adam as., hanya ketaqwaan jua yang membedakan manusia disisi-
Nya, sebagaimana firman Allah:
َٚب أَُّٚ بَٓ ان بَُّسُ اتَّقُ إ زَبَّكُىُ انَّرِ خَهَقَكُىْ يِ فََْسٍ أَحِدَةٍ خََٔهَقَ يِ بَُْٓ شَ جَْٔ بَٓ بََٔثَّ يِ ب زِجَبلا
كَثِٛسًا سَََِٔبءً
Artinya: Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang te1ah menjadikan
kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya
Allah memperkembang-biakkan 1aki-laki dan perempuan yang banyak
َٚب أَُّٚ بَٓ ان بَُّسُ إِ بََّ خَهَقْ بَُكُىْ يِ ذَكَسٍ أَُٔ ثََْ جََٔعَهْ بَُكُىْ شُعُ بًٕب قََٔبَبئِمَ نِتَعَبزَفُ إ إِ أَكْ سَيَكُىْ عِ دَُْ
اللََِّّ أَتْقَبكُىْ
إِ اللَََّّ عَهِٛىٌ خَبِٛسٌ
Artinya: Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengena1.
Jika Allah sebagai Zat Yang Maha Tinggi memandang semua manusia sama, hanya
ketaqwaan yang membedakannya, maka sungguh sangat tak logis jika manusia
mengadakan pengkotak-kotakan sendiri antar sesamanya. TM. Hasbi Ash-
Shiddieqy, dalam tulisannya menjelaskan (1977: 47):
...manusia semuanya dalam Syari'at Islam sama rata walaupun mereka berbeda-beda bangsa
dan kabilah, sama rata dalam menghadapi hak, sama rata dalam memikul kewajiban, sama rata
dalam bertanggung jawab. Semua mereka dalam hal yang demikian sama dengan gigi sisir tidak
panjang yang satu dari yang lain dan tidak kurang yang satu dari yang lain.
Dengan prinsip persamaan dimaksud, Syari'at Islam tidak membenarkan untuk
memprkosa hak orang lain untuk menentukan dan memilih agama yang akan
dianutnya. Karena itu sungguh tepat sekali apa yang dinyatakan oleh Khalifa Abdul
Hakim dalam tulisannya (1953: 208) :
The foundanental of the constitution shall guarantee equal civil liberties to alll subjects. All Non
Moslem religious comunities shall have the right to get their cases decided according to their
personal law, if they do not violate elementary human right.
Maksudya: Yang paling mendasar dari pada konstitusi (Islam) adalah menjamin
persamaan dan kemerdekaan warga negara dalam segala bidang. Semua warga
negara yang Non Muslim diberikan hak untuk menyelesaikan perkara-perkara
diantara mereka menurut hukum perseorangan (personal law) mereka sendiri,
sepanjang mereka tidak melanggar nilai-nilai dasar hak azazi manusia.
Toleransi beragama (Tolerance of Religious)
Toleransi beragama dalam Islam ditegakkan atas dasar kemerdekaan
beragama, persamaan dan keadilan. Rasulullah saw, telah meletakkan toleransi
beragama sebagai salah satu prinsip dari Negara Islam yang didirikannya setelah
hijrah, ke Madinah (Yatsrib). Tiga agama besar saat itu Yahudi, Nasrani dan Majusi
(Zaroaster) telah mendapat pengakuan hak-haknya dari pemerintahan Islam saat
itu.
Terhadap agama Nasrani tercermin dari tindakan Rasulullah saw. mengirim
dan menerima utusan dari berbagai Raja dan Kabilah, dalam rangka pertukaran
pendapat masalah agama. Terhadap agama Majusi, Rasulullah telah memberikan
pengakuan kepada seorang Kepala Pedupaan sucinya Farrukh putera Syakhsan
demikian pula telah diberikan perlindungan terhadap pemeluk agama Majusi.
Terhadap golongan Yahudi, pengakuan hak-haknya dapat dilihat dalam naskah
proklamasi Negara Islam Pertama :
... Pasal 25 sampai 35 (11 pasal) membuat pengakuan hak-hak warganegara untuk berbagai
suku bangsa Yahudi, walaupun pada waktu pernyataan proklamasi ini belum ikut memberi:kan
kesetiaannya. Diakui pula hak kebebasan mereka untuk memeluk dan menjalankan ajaran-ajaran
agamanya, kecuali kalau mengganggu ketertiban umum. tiap-tiap pelanggaran atas ketertiban
umum berarti memanggil kerusakan atas dirinya dan atas keluarganya (Ahmad: 79)

2.5 Islam Dan Kerukunan Umat Beragama
Ditinjau dari segi Aqidah
Inti dari aqidah Islam adalah mempercayai adanya Allah sebagai satusatunya
Tuhan semesta alam, dan sebagai satu-satunya tempat mengabdikan diri.
Dengan perkataan lain bahwa secara teoritis iman berarti pengakuan, dan secara
praktis berarti penghayatan dan pengamalan, sebagaimana yang dijelaskan oleh para
ahli :
اىقوه باىيسا وتصديق بالج اْ واىع َو بالأرما ”Diikrarkan dengan lidah, dibenarkan dengan hati, dan diamalkan dengan anggota”
Sehubungan dengan itu dapatlah dijelaskan bahwa iman dengan pengucapan
(lisan) tapi tidak dibenarkan oleh hati (dihayati) serta tidak diamalkan adalah iman
yang semu, dan itulah imannya kaum munafiq, sebagaimana dijelaskan dalam Al-
Qur‟an :
إَِٔذَا قِٛمَ نَ ىُْٓ آيِ إُُ كَ بًَ آيَ ان بَُّسُ قَبنُ إ أَ ؤَُْيِ كَ بًَ آيَ انسُّفَ بَٓءُ أَلا إِ ىََُّْٓ ىُُْ انسُّفَ بَٓءُ نََٔكِ لا َٚعْ هَ Artinya : Dan jika mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan : “Kami
beriman”. Dan bila mereka kembali dengan syetan-syetan (sekutu-sekutu mereka, mereka mengatakan
: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanya berolok-olok”. (Q.S. Al-Baqarah : 13)
Sehubungan dengan masalah keimanan ini Barmawie Umarie (1967: 10-11)
menjelaskan : Iman tidaklah berarti percaya atau tidak membantah, tetapi iman pada
hakekatnya adalah combinatie dari „Athifah, Fikriyah dan Iradah yang
menggerakkan hati untuk mengerjakan kebaikan yang memberikan kemaslahatan
bagi individu dan collective. Jadi iman yang murni, original dan asli adalah: iqrar,
tashdieq, dan amal. Bila tidak demikian iman tersebut adalah imitasi.
Oleh sebab itu segala bentuk pengintegrasian aqidah Islam dengan aqidah
agama-agama lainnya adalah haram. Karenanya segenap upaya yang menjurus
kepada pengrusakan aqidah (integrasi aqidah) juga adalah haram, sesuai dengan
kaidah ushul fiqh yang berbunyi :
ىيوسائو حن المقا صد
"Bagi perantara sama hukum dengan tujuannya".
درؤ المفا سد قٍد عيى جيب المصالح
”Menolak kemafsadatan (kerusakan) didahulukan daripada mengambil mashlahat”.
Menteri Agama RI dengan Keputusan No.70 Tahun 1978 tentang Pedoman
Penyiaran Agama, menyatakan bahwa demi untuk memelihara kerukunan antar
umat berngama, dilarang/tidak dibenarkan dengan cara apapun dan dalih apapun
mengajak orang-orang yang telah menganut suatu agama untuk menganut agama
yang kita anut.
Dengan mengikuti peraturan diatas berarti mengurangi ketegangan antar
ummat beragama di Indonesia. Islam sama sekali tidak mengenal istilah rukun
dalam arti kompromi (integrasi) dalam masalah aqidah, dan prinsip tersebut adalah
sejalan dengan 'Statement of Religious Liberty' yang pernah dikumandang-kan di
Amerika.
Ditinjau dari segi Ibadah
Pada hakekatnya dalam Islam, Ibadah tidak dapat dipisahkan dengan aqidah,
karena ibadah tersebut adalah sebagai perwujudan (penjelmaan) daripada aqidah
(keimanan). Iman yang tidak diiringi dengan penghayatan dan pengamalan (ibadah/
syari‟ah) adalah iman yang palsu (imitasi).
Dengan perkataan lain bahwa ibadah tidak dapat dipisahkan dari aqidah,
karenanya jika pengintegrasian aqidah agama lain ke dalam aqidah agama Islam
adalah haram, maka pengintegrasian ibadah agama lain kedalam ibadah agama
Islam juga adalah haram (berdosa); yang dengan sendirinya, segenap usaha kearah
itu adalah juga haram.
Karenanya segenap usaha ke arah tersebut, mutlak harus dibendung. Ibadah
berkaitan erat dengan aqidah, sedang aqidah adalah the foundamental principal dari
ajaran Islam maka segala bentuk usaha atau perbuatan pengintegrasian ibadah
agama lain ke dalam ibadah agama Islam dengan dalih dan alasan apnpun tidak
dapat dibenarkan dan hukumnya adalah haram. Allah berfirman :
قُمْ َٚب أَُّٚ بَٓ انْكَبفِسُ )( لا أَعْبُدُ يَب تَعْبُدُ )( لَٔا أَ تَُْىْ عَببِدُ يَب أَعْبُدُ )( لَٔا أَ بََ عَببِدٌ يَب
عَبَدْتُىْ )( لَٔا أَ تَُْىْ عَببِدُ يَب أَعْبُدُ )(نَكُىْ دِٚ كُُُىْ نََِٔٙ دِٚ )(
Artinya: Katakanlah :"`Hai orang-orang kafir ! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah. Dan kami tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.
(Q.S. Al-Kafirun : 1-6)
Ditinjau dari segi Muamalah
Islam adalah proklamator pertama hak azazi manusia (The first declarator of
Human Right), untuk rahmat seluruh alam. Islam datang untuk mangembalikan nilainilai
insani, bukan menghancurkannya. Islam datang untuk perdamaian abadi, bukan
untuk permusuhan dan pertentangan. Islam datang untuk persatuan, bukan
untuk perpecahan dan pertikaian. Islam datang untuk mendorong dan merangsang
kemajuan, bukan penghambat kemajuan, Islam datang untuk kesejahteraan, bukan
untuk kehancuran. Karena Islam memang agama yang sejalan dengan kehidupan
manusia.
Dalam hal-hal yang berkenaan dengan sosial kemasyarakatan, baik dalam
Al-Qur‟an maupun da1am al-Hadits hanya memberikan ketentuan yang bersifat
umum tidak seperti halnya yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah (terperinci).
Hal itu bukanlah berarti Islam tidak sempurna, justeru disinilah letak kesempurnaan
Islam. Sebab hal yang berkenaan dengan sosial kemasyarakatan selalu dan akan
terus berkembang sesuai dengan tingkat pemikiran dan peradaban manusia. Dengan
Ilmu-Nya, Allah menurunkan syari'at-Nya dengan tidak kaku dan dapat mengikuti
segenap perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Allah ciptakan langit dan bumi untuk manusia seluruhnya, dan manusia
diberi-Nya akal sebagai modal dasar dan diturunkannya wahyu sebagai pedoman.
Ajaran Islam menuntut agar manusia (Muslim) bersifat dinamis, kreatif, dan
progressif, yang selalu ingin maju dan berkembang. Da1am sebuah filrman-Nya
Allah menandaskan :
َٚب يَعْشَسَ انْجِ أَلإ سَِْ إِ اسْتَطَعْتُىْ أَ تَ فُُْرُ أ يِ أَقْطَبزِ انسَّ بًَ أَثِ أَلأزْضِ فَب فَُْرُ أ
لا تَ فُُْرُ إِلا بِسُهْطَب Artinya: Hai jamaah Jin dan Manusia, jika kamu sanggup (melintasi) penjuru langit dan bumi,
maka lintasilah, kamu tidak, dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
(Q.S. Ar-Rahman : 33)
Dengan faraidl, Islam merangsang manusia, untuk mempelajari matematika;
dengan Ilmu Hisab, Islam merangsang manusia untuk mempelajari tata surya.
Keberhasilan Rasulullah saw, mempersatukan dan merobah masyarakat Arab
Jahiliyah menjadi masyarakat Ilahiyah, memberikan contoh kepada manusia tentang
kepemimpinan (leadership dan management), dan politik, bagaimana sebaiknya
memerintah dan mendirikan negara. Karena itu sungguh tepat sekali jika dikatakan
bahwa Islam adalah motivator kemajuan, dan Al-Qur‟an adalah soko guru Ilmu
Pengetahuan, sebagaimana firman Allah :
نََٔ أَ بًَََّ فِٙ الأزْضِ يِ شَجَسَةٍ أَقْلاوٌ أَنْبَحْسُ َٚ دًُُّ يِ بَعْدِ سَبْعَتُ أَبْحُسٍ يَب فََِدَ ثْ كَهِ بًَثُ اللََّّ Artinya :Meskipun semua kayu-kayuan di bumi dijadikan pena, dan semua lautan dijadikan tinta,
untuk menuliskan apa-apa yang dalam Al-Qur’an, kemudian ditambahkan tujuh lautan lagi,
niscaya akan habislah tintanya sebelum selesai penulisannya.
Jika masalah muamalat adalah hal yang mengatur hubungan antar sesama manusia
sedang nash-nash yang mengaturnya sangat terbatas dan hanya berupa ketentuan
umum saja, sedang menurut azaz Hukum Islam bahwa segala sesuatu yang tidak
ada nash padanya maka hukumnya adalah mubah.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berwajah majemuk dan berada
dalam masa transisi dari alam tradisional ke alam modern, mengakibatkan banyak
terjadi perubahan sosial. Kemudian dihubungkan dengan kenyataan bahwa proses
imitasi dalam interaksi sosial terus berjalan;“keadaan yang ambivalen sabagai dua
moral force yang saling menarik dan berlawanan secara diametral, yaitu jiwa sentris
yang bergaya kebatinan dan materi sentris yang berpola konsumsi mewah”( Sukanto
1978: 33); maka umat Islam Indonesia dituntut untuk lebih jeli menatap perubahanparubahan
sosial yang terjadi serta bersikap lebih selektif dalam mengadaptir nilainilai
untuk selanjutnya mengaktualisasakan nilai-nilai Islam.
Karena Islam menginginkan modernisasi yang utuh yakni pengembangan
dibidang material yang diimbangi dengan ketaqwaan. Sehingga akan terciptalah
masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah. Perimbangan unsur Ilahiyah
dan unsur Insaniyah dengan implikasi harmonis, akan membawa kepada
modernisasi yang utuh, itulah ciri modernisasi Islam. Allah berfirman :
فإذا قضيت اىصلاة فا تّشروا في الأرض وابتغوا فضو الله.
(Apabila kamu telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi untuk
mendapatkan karunia (keutamaan Allah). (Q.S. Al-Jumu’ah : 10)
Prinsip perimbangan ini adalah sejalan dengan tujuan Allah menciptakan
manusia yakni sebagai pemegang kepercayaan ( wakil) Allah untuk mengolah dan
mengurus bumi (untuk comfort) didunia yakni sesuai dengan kehendak Allah.
Pengintegrasian ajaran sosial kemasyarakatan (muamalah) dari luar Islam dapat
dibenarkan sepanjang tidak merusak perimbangan unsur Ilahiyah dan unsur
Insaniyah dan nilai kemanusiaan (Moralitas Islam) baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Sehubungaqn dengan itu dalam pergaulan sehari-hari antar sesama pemeluk
agama di Indonesia, sesuai dengan prinsip toleransi dan kemerdekaan beragama,
Ummat Islam Indonesia dituntut untuk menghormati pemeluk agama lainnya.
Dengan prinsip saling menghormati antar sesama pemeluk agama ini, tentu
kehidupan sosial kemasyarakatan akan berjalan dengan harmonis dan kondusif.
Sehingga kerukunan hidup umat beragama dapat terpelihara dan berjalan dengan
baik. Kondisi ini adalah merupakan sumbangan yang cukup berarti dari umat
beragama (Islam) bagi kelangsungan pembangunan nasional.

BAB 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Kerukunan antarumat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan
oleh bangsa yang majemuk dalam hal agama. Kerukunan antarumat beragama dalam pandangan Islam (seharusnya) merupakan suatu nilai yang terlembagakan dalam masyarakat. Jika toleransi beragama tidak
ditegakkan, bangsa atau negara tersebut akan menghadapi berbagai konflik
antarpemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional.

Daftar Pustaka