Kata
Pengantar
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga
saya dapat menyusun makalah ini. Karena tanpa izin-Nya saya tidak akan dapat
menyelesaikan makalah ini. Saya juga mengucapkan terimakasih pada dosen yang
telah memberi pengarahan dalam menyusun makalah ini dan juga dari berbagai
sumber yang tulisannya telah saya kutip untuk menyusun makalah ini. Kritik dan
saran saya butuhkan, karena mungkin dalam susunan makalah ini belum sempurna.
Semoga apa yang telah saya susun dapat bermanfaat bagi pembaca.
BAB 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Banyaknya konflik
yang melibatkan agama sebagai pemicunya menuntut
adanya perhatian yang
serius untuk mengambil langkah-langkah yang
antisipatif demi damainya
kehidupan umat beragama di Indonesia pada masamasa
mendatang. Jika hal
ini diabaikan, dikhawatirkan akan muncul masalah
yang lebih berat
dalam rangka pembangunan bangsa dan negara di bidang
politik, ekonomi,
keamanan, budaya, dan bidangbidang lainnya.
Adanya perubahan era
seperti sekarang ini seharusnya meningkatkan
kesadaran masyarakat
kita akan arti penting persatuan dan kesatuan. Akan
tetapi kenyataan yang
terjadi justru sebaliknya. Angin reformasi membawa
dampak kebebasan yang
kurang terkendali. Hal ini akan sangat berbahaya
ketika terjadi di
tengah-tengah bangsa yang tingkat heterogenitasnya cukup
tinggi seperti
Indonesia.
Rakyat Indonesia
mencita-citakan suatu masyarakat yang cinta damai dan
diikat oleh rasa
persatuan nasional untuk membangun sebuah negara yang
majemuk. Persatuan
ini tidak lagi membeda-bedakan agama, etnis, golongan,
kepentingan, dan yang
sejenisnya. Oleh karena itu, konsep yang cocok untuk
konteks Indonesia
adalah konsep masyarakat madani.
Konsep masyarakat
madani sebenarnya berasal dari konsep politik Islam
yang secara historis
pernah dipraktekkan pada masa awal pemerintahan Islam
di bawah kendali Nabi
Muhammad SAW. Realitas politik pada masyarakat awal
Islam (masa al-salaf
al-shalih), menurut Nurcholish Madjid (1999, h. 24),
memiliki bangunan
kenyataan politik yang demokratis dan partisipatoris yang
menghormati dan
menghargai ruang publik, seperti kebebasan hak asasi,
partisipasi, keadilan
sosial, dan lain sebagainya.
1.2
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini
bertujuan:
1.
Agar pembaca mengetahui kerukunan antar umat
beragama;
2.
Agar pembaca mengetahui konsep masyarakat
madani;
3.
Agar pembaca mengetahui syariat islam dan
kerukunan umat beragama;
4.
Agar pembaca mengetahui kerukunan beragama di
zaman Rasulullah;
5.
Agar pembaca mengetahui islam dan kerukunan
umat beragama;
BAB
2
Pembahasan
2.1 Kerukunan
Antarumat Beragama
Kerukunan antarumat
beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan
oleh bangsa yang
majemuk dalam hal agama. Jika toleransi beragama tidak
ditegakkan, bangsa
atau negara tersebut akan menghadapi berbagai konflik
antarpemeluk masing-masing
agama dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional. Untuk memberi perhatian
khusus kepada masalah kerukunan antar
umat beragama, harus
diupayakan pemahaman yang benar dan ditemukan
cara untuk
menciptakan kerukunan tersebut.
Kerukunan antarumat
beragama dalam pandangan Islam (seharusnya)
merupakan suatu nilai
yang terlembagakan dalam masyarakat. Islam
mengajarkan bahwa
agama Tuhan adalah universal karena Tuhan telah
mengutus Rasul-Nya
kepada setiap umat manusia (QS. al-Nahl (16): 36).
Selain itu, ajaran
Islam juga mengajarkan tentang pandangan tentang kesatuan
kenabian (nubuwwah)
dan umat yang percaya kepada Tuhan (QS. al-Anbiya’
(21): 92).
Ditegaskan juga bahwa
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
(Islam) adalah
kelanjutan langsung agama-agama yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya (QS.
al-Syura (42): 13). Oleh karena itu, Islam memerintahkan
umatnya untuk menjaga
hubungan baik dengan para pemeluk agama lain,
khususnya para
penganut kitab suci (Ahli Kitab) (QS. al-’Ankabut (29): 46).
Prinsip-prinsip Islam
seperti yang terbubuh dalam ayat-ayat al-Quran di
atas membawa
konsekuensi adanya larangan untuk memaksakan agama (QS.
al-Baqarah (2): 256).
Ayat ini, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi, seperti dikutip
oleh Nurcholish
Madjid (1990, h. 110), diturunkan karena ada anak-anak kaum
Anshar di Madinah
yang tidak mau mengikuti jejak orangtua mereka untuk
memeluk Islam dan
memilih agama Yahudi yang sudah mereka kenal, tetapi
kemudian orangtua
mereka ingin memaksa mereka memeluk agama Islam.
Hal ini mendapat
penegasan firman Allah, ”Dan jika seandainya Tuhanmu
menghendaki, maka
pastilah beriman semua orang di bumi, tanpa kecuali.
Apakah Engkau
(Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka
beriman semua?” (QS.
Yunus (10): 99). Pendirian ini perlu dikemukakan karena
sampai sekarang masih
dirasakan kekurangpercayaan kepada prinsip ini dari
berbagai kalangan.
Umat Islam tidak
dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapa pun
dari kalangan
nonMuslim yang tidak menunjukkan sikap permusuhan
berdasarkan prinsip di
atas. Pada zaman Nabi SAW, telah terjalin hubungan
yang baik dari
beberapa kelompok non-Muslim dengan kelompok Muslim. Pemerintahan Islam banyak
menunjukkan toleransi kepada umat-umat
beragama lain.
Golongan minoritas mendapatkan perlindungan dari pemerintah
Islam dan dapat
menjalin hubungan dengan masyarakat Muslim dengan baik
dalam melaksanakan berbagai
aktivitasnya.
2.2 Konsep Masyarakat
Madani
Istilah “madani”
berasal dari bahasa Arab “madaniy”. Kata “madaniy”
berakar pada kata
kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal, atau
membangun. Dalam
bahasa Arab, kata “madaniy“ mempunyai beberapa arti, di
antaranya yang
beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau
perdata (Munawwir,
1997, h. 1320). Dari kata “madana” juga muncul kata
“madiniy” yang
berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Secara kebetulan
atau dengan sengaja,
bahasa Arab menangkap persamaan yang sangat
esensial di antara
peradaban dan urbanisme.
Dengan mengetahui
makna kata “madani”, maka istilah “masyarakat
madani” (al-mujtama’
al-madaniy) secara mudah bisa dipahami sebagai
masyarakat yang
beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di
suatu kota atau yang
berpaham masyarakat kota yang akrab dengan masalah
pluralisme. Dengan
demikian, masyarakat madani merupakan suatu bentuk
tatanan masyarakat
yang bercirikan hal-hal seperti itu, yang tercermin dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Masyarakat madani
dalam bahasa Inggris sering diistilahkan sebagai civil
society atau
madinan society. Adam B. Seligman (dikutip dalam Abdul Mun’im,
1994, h. 6)
mendefinisikan civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang
mengejawantah dalam
berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari
gagasan ini adalah
usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan
kepentingan antara
individu dengan masyarakat dan antara masyarakat sendiri
dengan kepentingan
negara.
Dalam perbincangan
ini, masyarakat sipil tidak dihadapkan dengan
masyarakat militer
yang memiliki power yang berbeda. Civil society
(masyarakat sipil),
sesuai dengan arti generiknya, bisa dipahami sebagai
civilized society (masyarakat
beradab) sebagai lawan dari savage society
(masyarakat biadab).
Vaclav Havel (dikutip
dalam Muhammad AS Hikam, 1994, h. 6)
menerangkan bahwa
dalam civil society, rakyat sebagai warga negara mampu
belajar tentang
aturan-aturan main lewat dialog demokratis dan penciptaan
bersama batang tubuh
politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil
society merupakan
gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam
masyarakat yang telah
hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara
normatif-politis,
inti strategi ini adalah upaya memulihkan kembali pemahaman
asasi bahwa rakyat
sebagai warga memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban
kepada para penguasa atas apa yang mereka lakukan
atas nama bangsa.
Kedua tinjauan konsep
masyarakat madani di atas, baik melalui
pendekatan bahasa
Arab maupun bahasa Inggris, pada prinsipnya
mengandung makna yang
relatif sama dan sejalan, yaitu menginginkan suatu
masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban dan demokrasi.
Meskipun konsep
tentang masyarakat madani tidak dapat dianalisis secara
persis, mana
sebenarnya konsep yang digunakan sekarang ini, berfungsinya
masyarakat madani
jelas dan tegas ada dalam inti sistem-sistem politik yang
membuka partisipasi
rakyat umum. Konsep masyarakat madani (civil society)
kerap kali dipandang
telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan
otoriter dan
menentang pemerintahan sewenang-wenang di Amerika Latin,
Eropa Selatan, dan
Eropa Timur (Madjid, 1997, h. 294).
Prinsip dasar
masyarakat madani dalam konsep politik Islam sebenarnya
didasarkan pada
prinsip kenegaraan yang diterapkan pada masyarakat
Madinah di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Madinah
adalah masyarakat
plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama.
Islam datang ke
Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang
mengikat aneka ragam
suku, konflik, dan perpecahan.
Negara Madinah secara
totalistik dibangun di atas dasar ideologi yang
mampu menyatukan Jazirah
Arab di bawah bendera Islam. Ini adalah babak
baru dalam sejarah
politik di Jazirah Arab. Islam membawa perubahan radikal
dalam kehidupan
individual dan sosial Madinah karena kemampuannya
mempengaruhi kualitas
seluruh aspek kehidupan (Akram Dliya’ al-Umari, 1995.
h. 51).
Prinsip dasar yang
lebih detail mengenai masyarakat madani ini diuraikan
oleh Prof. Akram
Dliya’ al-Umari dalam bukunya al-Mujtama’ al-Madaniy fi ‘Ahd
al-Nubuwwah (Masyarakat
Madani pada Periode Kenabian). Buku ini kemudian
diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris menjadi Madinan Society at the Time of
Prophet (1995).
Dalam buku ini al-Umari menjelaskan secara panjang lebar
mengenai dasar-dasar
yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
mewujudkan masyarakat
madani (masyarakat Madinah).
Al-Umari (1995, h.
63-120) menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip
dasar yang bisa
diidentifikasi dalam pembentukan masyarakat madani, di
antaranya adalah
sebagai berikut.
a) Adanya sistem muakhah
(persaudaraan).
b) Ikatan iman.
c) Ikatan cinta.
d) Persamaan si kaya
dan si miskin.
e) Toleransi umat
beragama.
Prinsip-prinsip
masyarakat madani seperti itu sangat ideal untuk
diterapkan di negara
dan masyarakat mana pun, tentunya dengan
penyesuaian-penyesuaian
dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya
yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut. Namun, masih banyak konsep
masyarakat madani
yang berkembang di kalangan pemikir kita yang didekati
dari konsep lain,
bukan dari konsep seperti itu. Salah satunya adalah konsep
civil society (masyarakat
sipil). Seorang pemikir Mesir, Fahmi Huwaydi (dikutip
dalam Wawan Darmawan,
1999, h. 21), berpendapat bahwa orang pertama
yang membicarakan
tentang “pemerintahan sipil” (civilian government) atau
masyarakat madani
adalah seorang filosof Inggris, John Locke, yang telah
menulis buku Civilian
Government pada 1960. Setelah John Locke, di Perancis
muncul JJ. Rousseau,
yang terkenal dengan bukunya The Social Contract
(1762).
2.3
Syari’at Islam dan Kerukunan Umat Beragama
Syari'at
Islam
Pengertian
Syari’at Islam
Syari‟at
Islam berasal dari dua kata yaitu Syari‟at dan Islam, keduanya
berasal
dari bahasa Arab. Syari'at berarti : “jalan yang lurus, tempat yang didatangi
oleh
manusia/binatang untuk meminum airnya"(Hasbi 1975 :31-32. Disyari'atkan
berarti
ditetapkan, demikian yang dapat dipahamkan dari firman Allah:
شَسَعَ نَكُىْ
يِ اندِّٚ يَب صََّٔ بِ حًَُٕب أَنَّرِ أَ حَْْٔٛ بَُ إِنَْٛكَ ئََب صََّْٔٛ بَُ
بِ إِبْسَا ِْٛىَ ئَُ سَٕ عَِٔٛسَ "Ditetapkan
kepada kamu apa-apa yang Kami telah wasiatkan kepada Nuh, sebagaimana juga
telah
Kami wahyukan kepadamu”.
Islam
berarti: "selamat, sejahtera dan berserah diri"(Isa Sarul 71: 28).
Karenanya
setiap Muslim dituntut oleh Syari' (Allah) untuk mengikutinya dengan
penuh
kepasrahan (tawakkal), yang tumbuh dari hati sanubarinya sebagai
perwujudan
rasa berserah diri kepada-Nya. Rasa berserah diri ini akan tampak jelas
dalam
pengakuan seorang muslim dalam shalatnya :
إِ صَلاتِٙ
سََُُٔكِٙ ئََحَْٛب ئََ بًَتِٙ لِِلَِّّ زَةِّ انْعَبنَ ًِٛ . لا شَسِٚكَ نَ بَِٔرَنِكَ
أُيِسْثُ أََٔ بََ
أَ لَُّٔ
انْ سًُْهِ ًِٛ Artinya: "Sesungguhnya shalatku, dan amal perbuatanku,
hidupku, dan matiku hanya untuk Allah
Tuhan
semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, demikianlah aku diperintahkan dan aku
termasuk
golongan orang yang berserah diri”
Dalam
literatur Islam ada dua term yang sering digunakan dalam berbicara
masalah
Hukum Islam yaitu syari‟at dan fiqh. Dalam pemakaian sehari-hari orang
sering
menyamakan arti antara syari‟at dan fiqh, padahal pengertian keduanya jauh
berbeda,
dan sikap mempersamakannya mempunyai efek yang sangat merugikan
umat
Islam karena akan menumbuhkan sikap taqlid yang mematikan kreativitas
berfikir.
Sehubungan
dengan pengertian syari'at dan fiqh dimaksud, Mahmassani
(1977:
22-26) seorang Dosen Hukum Islam pada Fakultas Hukum Perancis di Beirut
memberikan
penjelasan sebagai berikut :
Syari'at
adalah f'irman Allah atau Syari' yang memberi faedah hukum. Atau dengan
perkataan
lain menurut para ahli ushul firman Allah yang ditujukan kepada orang-orang
mukallaf
yaitu
orang-orang yang sudah cakap bertanggung jawab hukum; ... . Atau boleh juga
dikatakan,
kaedah
hukum yang ditentukan oleh syari'at mengenai katentuan hukumnya sesuatu, ....
Tegasnya
bahwa
syari'at adalah hukum Allah yang disampaikan atas lisan nabi-Nya Muhammad saw.,
sedangkan
fiqh adalah ilmu untuk mengetahui masalah masalah hukum secara praktis, yang
diperoleh
dari dalil- dalil hukum perincian. Ini berarti bahwa seorang ahli fiqh
diwajiblsan
mondasarkan
segala ketentuan hukum yang diperolehnya itu atas dalil-dalil dan sumber-sumber
tempat
cara pengambilannya dengan cara pendapat dan lstidlal”
Dengan
memperhatikan pendapat di atas berarti bahwa dalam fiqh ada unsur
ijtihad,
sedangkan dalam syari'at tidak ada. Hal itu dikarenakan syari'at
bersumberkan
dalil-dalil yang jelas (qath'i), sedangkan fiqh bersumberkan dalil-dalil
yang
samar (dzonni). Menurut Hasbullah Bakry (1968: 20) tentang perbedaan antara
syari'at
dan fiqh ini yaitu :"Syari'at = Hukum Qur"an = Agama Islam murni =
Penilaiannya
absolut = Berlaku untuk segenap zaman dan tempat. Hukum Fekih =
Prestasi
budaya manusia di satu zaman dan satu tempat = Penilaiannya relatif =
Selalu
in wording = Berobah terus disesuaikan dengan kehidupan manusia".
Tujuan
Syari’at Islam
Karena
manusia adalah makhluk sosial, diperlukan ketentuan yang mengatur
hubungan
antar sesama manusia. Ketentuan yang mengaturnya itu adalah hukum.
Dengan
perkataan lain, bahwa hukum itu adalah merupakan hal yang dibutuhkan
manusia.
Hal ini terbukti dengan usaha manusia itu sendiri untuk merumuskan hukum.
Hukum
ciptaan manusia hanya terbatas untuk memenuhi ketertiban hidup manusia (comfort)
di
dunia saja, sedangkan Hukum Islam (Syari'at Islam) melangkah 1ebih jauh yaitu
untuk
menciptakan
kehidupan yang tertib dan harmonis didunia maupun di akhirat kelak,
sebagaimana
firman Allah :
وابتغ في
اَ اتاك الله اىدار الأخرة ولا ت سْ صّيبل اىد يّا
Artinya:
Dan carilah dengan apa-apa yang didatangkan Allah (kepadamu) kebahagiaan
hari
akhirat,
dan janganlah kamu sia-siakan untuk mendapat kebahagiaanmu (nasibmu) di dunia.
T.M.Hasbi
Ash-Shiddieqy (1975:32) menjelaskan bahwa ada lima tujuan
pokok
Syari'at Islam yaitu: "memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan
memelihara agama, dan memelihara harta". Dengan ketentuan
qishash,
terpeliharalah jiwa manusia; dengan ketentuan munakahat, maka
tarpeliharalah
keturunan; dengan ketentuan mawarits dan tata perekonomian
yang
sehat, maka terpeliharilah harta; dan dengan mengikuti ketentuanketentuan
syara‟,
maka akan terpeliharalah agama (Islam) dan aka1 manusia.
Islam
Sebagai Aqidah dan Syari’ah
Secara
garis besarnya Agama Islam itu terdiri dari tiga unsur yaitu Iman,
Islam,
dan Ihsan. Iman adalah merupakan ursur utama, jika tidak adanya Iman
unsur
Islam dan Ihsan tidak akan ada, sedang Islam adalah unsur kedua dan Ihsan
adalah
unsur ketiga. Ketiga unsur itu bersenyawa dalam Dienul Islam.
Dari
ayat-ayat Al-qur'an dan hadits-hadits akan kita temui bahwa Iman
adalah
memercayai akan Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhirat, dan Qadla
Qadlar.
Sedangkan Islam adalah adanya kesaksian (pengakuan) akan ke-Esa-an
Allah
dan ke-Rasul-an Muhamraad saw, mengerjakan shalat, menunaikan zakat,
mengerjakan
puasa bulan Ramadlan dan hajji. Adapun Ihsan adalah suatu perasaan
dimana
Allah selalu mengawasi manusia.
Keimanan
adalah merupakan sendi utama (aqidah), dan sebagai perwujudan
dari
keimanan itu adalah amal perbuatan (syari'ah), dan dari perpaduan antara
keduanya
itu menimbulkan sikap ihsan. Karena itu berarti bahwa Islam itu
berintikan
aqidah dan syari‟ah. Sebagaimana juga yang ditandaskan oleh Sayid
Sabiq
(1974 : 15) :
Islam
adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, dan ia adalah
agama
yang, barintikan keimanan dan ama1 perbuatan. Keimanan itu merupakan aqidah dan
pokok
diatasnya berdiri Syari’at Islam. Keimanan dan perbuatan, atau dengan kata lain
aqidah
dan
syari’ah, keduanya itu antara yang satu dengan yang lain sambung menyambung
hubung
menghubungi
dan tidak berpisah yang satu dengan yang lainnya. Keduanya adalah sebagai
pohon
dengan buahnya sebagai musabbab dengan sababnya, atau sebagai natijah dengan
mukaddimahnya.
Tegasnya
bahwa tanpa amal perbuatan (syari'ah) keimanan tidak berarti apaapa,
sedang
perbuatan yang tidak dilandasi dengan keimanan juga akan sia-sia. Hal
ini
terbukti dengan banyaknya kata 'amal shaleh yang mengiringi kata iman dalam
ayat-ayat
A1-Qur‟an, dan memang pada hakekatnya pengertian keimanan itu sendiri
adalah
menuntut adanya amal perbuatan. Bahkan Allah sangat mengecam orangorang
yang
hanya berkata tanpa berbuat, sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللََِّّ
أَنْ تَقُولُوا مَا لا
تَفْعَلُونَ
.
Artinya
:Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat
? Amat besar kabencian Allah bahwa kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan.
2.4 Kerukunan
Beragama di Zaman Rasulullah
Kemerdekaan
beragama (Freedom of Religious)
Dimaksudkan
dengan kemerdekaan beragama menurut naskah Statement of
Religious
liberty (Mansoer 1980: 27) yang pernah diumumkan di Amerika pada
waktu
berkecamuknya Perang Dunia I1 ialah :
Religions
liberty shall be interpreted to include freedom in worship according to
conscience and
to
bring up children in the faith of their parents; freedom to preach, educate
publish and carry on
misssionary
activities; and freedom to organize with others, and to acquire and hold
property, for
these
porpuse.
Dalam
Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah 256 Allah berfirman :
لا إِكْسَا
فِٙ اندِّٚ قَدْ تَبََّٛ انسُّشْدُ يِ انْغَِّٙ
Artinya:Tidak
ada paksaan untuk (memasuki.) agama (Islam) Sesungguhnva telah jelas jalan yang
benar
daripada yang salah.
Menurut
riwayat Ibnu Jurair dari Said yang bersumber dari Ibnu Abbas, asbabun
nuzul
ayat diatas adalah :
Hushain
dari Golongan Anshar suku Bani Salim yang mempunyai dua orang anak yang
beragama
Nasrani, sedang dia sendiri beragama Islam. Ia bertanva kepada Nabi saw. :
"bolehkah
saya
paksa kedua anak itu, karena mereka tidak taat kepadaku, dan tetap ingin beragama
Nasrani?",
maka turunlah ayat diatas.
Kemudian
dalam surat Al-Hajj 17 Allah berfirman :
إِ انَّرِٚ
آيَ إُُ أَنَّرِٚ بَْدُ أ أَنصَّببِئِٛ أَن صََُّبزَ أَنْ جًَُ سَٕ أَنَّرِٚ
أَشْسَكُ إ إِ اللَََّّ
َٚفْصِمُ بَْٛ
ىَُُْٓ َٚ وَْٕ انْقَِٛبيَتِ إِ اللَََّّ عَهَ كُمِّ شَْٙءٍ شَ ِٛٓدٌ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang -orang Yahudi, orang-orang Nasrani,
orangorang
Shabiin
(orang-orang yang mengikuti syari’at Nabi-Nabi zaman dahulu atau orang-orang
yang
menyembah dewa-dewa,orang-orang Majusi, orang-orang musyrik, Allah memberikan
keputusan
diantara mereka dihari kiamat. Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu menjadi
saksi
(Mengetahui).
Dalam
Islam, kemerdekaan beragama adalah merupakan salah satu azaz
dalam
pengembangan dan penyiarannya dan pemaksaan sama sekali tidak dapat
dibenarkan.
Baik itu berupa pemaksaan pisik (ancaman pisik) maupun berupa
pemaksaan
mental (pemboikotan ekonomi). Demikian konsep kemerdekaan beragama
yang
diterapkan (diajarkan) oleh Rasulullah saw. dan para pemimpin Islam
(Khulafaur
Rasyidin), bahkan terhadap para tawanan perangpun Islam tidak pernah
memaksakan
mereka untuk memeluk agama Islam, dan peperangan yang dilaksakan
Islam
hakekatnya adalah untuk mempertahankan kebebasan beragama. Karena peperangan
dilakukan
adalah terhadap mereka yang menghalangi pelaksanaan
penyiaran
Islam (defensive), bukan berupa expansive.
Oleh
sebab itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam telah lebih
dahulu
mencanangkan kemerdekaan beragama, jauh sebelum di kumandangkannya
'Statement
of Religious Liberty'. Karena itu, sungguh Islam
adalah agama yang sangat
cocok
untuk manusia yang berakal sehat.
Persamaan
derajat manusia (Equality)
Disamping
memproklamirkan kemerdekaan beragama, Islam juga
memproklamirkan
persamaan derajat manusia. Tidak ada perbedaan antara
pimpinan
dengan yang dipimpin; antara Kepala Negara dan Rakyat Jelata; juga
tidak
ada perbedaan antara bangsa Kulit Putih dengan bangsa Kulit Hitam. Manusia
secara
keseluruhannya adalah makhluk Allah, yang diciptakan-Nya dari asal yang
satu
yaitu Nabi Adam as., hanya ketaqwaan jua yang membedakan manusia disisi-
Nya,
sebagaimana firman Allah:
َٚب أَُّٚ
بَٓ ان بَُّسُ اتَّقُ إ زَبَّكُىُ انَّرِ خَهَقَكُىْ يِ فََْسٍ أَحِدَةٍ خََٔهَقَ
يِ بَُْٓ شَ جَْٔ بَٓ بََٔثَّ يِ ب زِجَبلا
كَثِٛسًا
سَََِٔبءً
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang te1ah menjadikan
kamu
dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
keduanya
Allah
memperkembang-biakkan 1aki-laki dan perempuan yang banyak
َٚب أَُّٚ
بَٓ ان بَُّسُ إِ بََّ خَهَقْ بَُكُىْ يِ ذَكَسٍ أَُٔ ثََْ جََٔعَهْ بَُكُىْ شُعُ بًٕب
قََٔبَبئِمَ نِتَعَبزَفُ إ إِ أَكْ سَيَكُىْ عِ دَُْ
اللََِّّ
أَتْقَبكُىْ
إِ اللَََّّ
عَهِٛىٌ خَبِٛسٌ
Artinya:
Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan
seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu
saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah
orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengena1.
Jika
Allah sebagai Zat Yang Maha Tinggi memandang semua manusia sama, hanya
ketaqwaan
yang membedakannya, maka sungguh sangat tak logis jika manusia
mengadakan
pengkotak-kotakan sendiri antar sesamanya. TM. Hasbi Ash-
Shiddieqy,
dalam tulisannya menjelaskan (1977: 47):
...manusia
semuanya dalam Syari'at Islam sama rata walaupun mereka berbeda-beda bangsa
dan
kabilah, sama rata dalam menghadapi hak, sama rata dalam memikul kewajiban,
sama rata
dalam
bertanggung jawab. Semua mereka dalam hal yang demikian sama dengan gigi sisir
tidak
panjang
yang satu dari yang lain dan tidak kurang yang satu dari yang lain.
Dengan
prinsip persamaan dimaksud, Syari'at Islam tidak membenarkan untuk
memprkosa
hak orang lain untuk menentukan dan memilih agama yang akan
dianutnya.
Karena itu sungguh tepat sekali apa yang dinyatakan oleh Khalifa Abdul
Hakim
dalam tulisannya (1953: 208) :
The
foundanental of the constitution shall guarantee equal civil liberties to alll
subjects. All Non
Moslem
religious comunities shall have the right to get their cases decided according
to their
personal
law, if they do not violate elementary human right.
Maksudya:
Yang paling mendasar dari pada konstitusi (Islam) adalah menjamin
persamaan
dan kemerdekaan warga negara dalam segala bidang. Semua warga
negara
yang Non Muslim diberikan hak untuk menyelesaikan perkara-perkara
diantara
mereka menurut hukum perseorangan (personal law) mereka sendiri,
sepanjang
mereka tidak melanggar nilai-nilai dasar hak azazi manusia.
Toleransi
beragama (Tolerance of Religious)
Toleransi
beragama dalam Islam ditegakkan atas dasar kemerdekaan
beragama,
persamaan dan keadilan. Rasulullah saw, telah meletakkan toleransi
beragama
sebagai salah satu prinsip dari Negara Islam yang didirikannya setelah
hijrah,
ke Madinah (Yatsrib). Tiga agama besar saat itu Yahudi, Nasrani dan
Majusi
(Zaroaster)
telah mendapat pengakuan hak-haknya dari pemerintahan Islam saat
itu.
Terhadap
agama Nasrani tercermin dari tindakan Rasulullah saw. mengirim
dan
menerima utusan dari berbagai Raja dan Kabilah, dalam rangka pertukaran
pendapat
masalah agama. Terhadap agama Majusi, Rasulullah telah memberikan
pengakuan
kepada seorang Kepala Pedupaan sucinya Farrukh putera Syakhsan
demikian
pula telah diberikan perlindungan terhadap pemeluk agama Majusi.
Terhadap
golongan Yahudi, pengakuan hak-haknya dapat dilihat dalam naskah
proklamasi
Negara Islam Pertama :
...
Pasal 25 sampai 35 (11 pasal) membuat pengakuan hak-hak warganegara untuk
berbagai
suku
bangsa Yahudi, walaupun pada waktu pernyataan proklamasi ini belum ikut
memberi:kan
kesetiaannya.
Diakui pula hak kebebasan mereka untuk memeluk dan menjalankan ajaran-ajaran
agamanya,
kecuali kalau mengganggu ketertiban umum. tiap-tiap pelanggaran atas ketertiban
umum
berarti memanggil kerusakan atas dirinya dan atas keluarganya (Ahmad: 79)
2.5 Islam
Dan Kerukunan Umat Beragama
Ditinjau
dari segi Aqidah
Inti
dari aqidah Islam adalah mempercayai adanya Allah sebagai satusatunya
Tuhan
semesta alam, dan sebagai satu-satunya tempat mengabdikan diri.
Dengan
perkataan lain bahwa secara teoritis iman berarti pengakuan, dan secara
praktis
berarti penghayatan dan pengamalan, sebagaimana yang dijelaskan oleh para
ahli :
اىقوه باىيسا
وتصديق بالج اْ واىع َو بالأرما ”Diikrarkan dengan lidah, dibenarkan dengan
hati, dan diamalkan dengan anggota”
Sehubungan
dengan itu dapatlah dijelaskan bahwa iman dengan pengucapan
(lisan)
tapi tidak dibenarkan oleh hati (dihayati) serta tidak diamalkan adalah iman
yang
semu, dan itulah imannya kaum munafiq, sebagaimana dijelaskan dalam Al-
Qur‟an
:
إَِٔذَا
قِٛمَ نَ ىُْٓ آيِ إُُ كَ بًَ آيَ ان بَُّسُ قَبنُ إ أَ ؤَُْيِ كَ بًَ آيَ انسُّفَ
بَٓءُ أَلا إِ ىََُّْٓ ىُُْ انسُّفَ بَٓءُ نََٔكِ لا َٚعْ هَ Artinya : Dan
jika mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan : “Kami
beriman”.
Dan bila mereka kembali dengan syetan-syetan (sekutu-sekutu mereka, mereka
mengatakan
:
“Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanya berolok-olok”. (Q.S.
Al-Baqarah : 13)
Sehubungan
dengan masalah keimanan ini Barmawie Umarie (1967: 10-11)
menjelaskan
: Iman tidaklah berarti percaya atau tidak membantah, tetapi iman pada
hakekatnya
adalah combinatie dari „Athifah, Fikriyah dan Iradah yang
menggerakkan
hati untuk mengerjakan kebaikan yang memberikan kemaslahatan
bagi
individu dan collective. Jadi iman yang murni, original dan asli adalah: iqrar,
tashdieq,
dan amal. Bila tidak demikian iman tersebut adalah imitasi.
Oleh
sebab itu segala bentuk pengintegrasian aqidah Islam dengan aqidah
agama-agama
lainnya adalah haram. Karenanya segenap upaya yang menjurus
kepada
pengrusakan aqidah (integrasi aqidah) juga adalah haram, sesuai dengan
kaidah
ushul fiqh yang berbunyi :
ىيوسائو
حن المقا صد
"Bagi
perantara sama hukum dengan tujuannya".
درؤ المفا
سد قٍد عيى جيب المصالح
”Menolak
kemafsadatan (kerusakan) didahulukan daripada mengambil mashlahat”.
Menteri
Agama RI dengan Keputusan No.70 Tahun 1978 tentang Pedoman
Penyiaran
Agama, menyatakan bahwa demi untuk memelihara kerukunan antar
umat
berngama, dilarang/tidak dibenarkan dengan cara apapun dan dalih apapun
mengajak
orang-orang yang telah menganut suatu agama untuk menganut agama
yang
kita anut.
Dengan
mengikuti peraturan diatas berarti mengurangi ketegangan antar
ummat
beragama di Indonesia. Islam sama sekali tidak mengenal istilah rukun
dalam
arti kompromi (integrasi) dalam masalah aqidah, dan prinsip tersebut adalah
sejalan
dengan 'Statement of Religious Liberty' yang pernah dikumandang-kan di
Amerika.
Ditinjau
dari segi Ibadah
Pada
hakekatnya dalam Islam, Ibadah tidak dapat dipisahkan dengan aqidah,
karena
ibadah tersebut adalah sebagai perwujudan (penjelmaan) daripada aqidah
(keimanan).
Iman yang tidak diiringi dengan penghayatan dan pengamalan (ibadah/
syari‟ah)
adalah iman yang palsu (imitasi).
Dengan
perkataan lain bahwa ibadah tidak dapat dipisahkan dari aqidah,
karenanya
jika pengintegrasian aqidah agama lain ke dalam aqidah agama Islam
adalah
haram, maka pengintegrasian ibadah agama lain kedalam ibadah agama
Islam
juga adalah haram (berdosa); yang dengan sendirinya, segenap usaha kearah
itu
adalah juga haram.
Karenanya
segenap usaha ke arah tersebut, mutlak harus dibendung. Ibadah
berkaitan
erat dengan aqidah, sedang aqidah adalah the foundamental principal dari
ajaran
Islam maka segala bentuk usaha atau perbuatan pengintegrasian ibadah
agama
lain ke dalam ibadah agama Islam dengan dalih dan alasan apnpun tidak
dapat
dibenarkan dan hukumnya adalah haram. Allah berfirman :
قُمْ َٚب
أَُّٚ بَٓ انْكَبفِسُ )( لا أَعْبُدُ يَب تَعْبُدُ )( لَٔا أَ تَُْىْ عَببِدُ يَب أَعْبُدُ
)( لَٔا أَ بََ عَببِدٌ يَب
عَبَدْتُىْ
)( لَٔا أَ تَُْىْ عَببِدُ يَب أَعْبُدُ )(نَكُىْ دِٚ كُُُىْ نََِٔٙ دِٚ )(
Artinya:
Katakanlah :"`Hai orang-orang kafir ! aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah.
Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah
apa yang kamu sembah. Dan kami tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang
aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.
(Q.S.
Al-Kafirun : 1-6)
Ditinjau
dari segi Muamalah
Islam
adalah proklamator pertama hak azazi manusia (The first declarator of
Human
Right), untuk rahmat seluruh alam. Islam datang
untuk mangembalikan nilainilai
insani,
bukan menghancurkannya. Islam datang untuk perdamaian abadi, bukan
untuk
permusuhan dan pertentangan. Islam datang untuk persatuan, bukan
untuk
perpecahan dan pertikaian. Islam datang untuk mendorong dan merangsang
kemajuan,
bukan penghambat kemajuan, Islam datang untuk kesejahteraan, bukan
untuk
kehancuran. Karena Islam memang agama yang sejalan dengan kehidupan
manusia.
Dalam
hal-hal yang berkenaan dengan sosial kemasyarakatan, baik dalam
Al-Qur‟an
maupun da1am al-Hadits hanya memberikan ketentuan yang bersifat
umum
tidak seperti halnya yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah (terperinci).
Hal itu
bukanlah berarti Islam tidak sempurna, justeru disinilah letak kesempurnaan
Islam.
Sebab hal yang berkenaan dengan sosial kemasyarakatan selalu dan akan
terus
berkembang sesuai dengan tingkat pemikiran dan peradaban manusia. Dengan
Ilmu-Nya,
Allah menurunkan syari'at-Nya dengan tidak kaku dan dapat mengikuti
segenap
perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Allah
ciptakan langit dan bumi untuk manusia seluruhnya, dan manusia
diberi-Nya
akal sebagai modal dasar dan diturunkannya wahyu sebagai pedoman.
Ajaran
Islam menuntut agar manusia (Muslim) bersifat dinamis, kreatif, dan
progressif,
yang selalu ingin maju dan berkembang. Da1am sebuah filrman-Nya
Allah
menandaskan :
َٚب يَعْشَسَ
انْجِ أَلإ سَِْ إِ اسْتَطَعْتُىْ أَ تَ فُُْرُ أ يِ أَقْطَبزِ انسَّ بًَ أَثِ أَلأزْضِ
فَب فَُْرُ أ
لا تَ فُُْرُ
إِلا بِسُهْطَب Artinya: Hai jamaah Jin dan Manusia, jika kamu sanggup
(melintasi) penjuru langit dan bumi,
maka
lintasilah, kamu tidak, dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
(Q.S.
Ar-Rahman : 33)
Dengan
faraidl, Islam merangsang manusia, untuk mempelajari matematika;
dengan
Ilmu Hisab, Islam merangsang manusia untuk mempelajari tata surya.
Keberhasilan
Rasulullah saw, mempersatukan dan merobah masyarakat Arab
Jahiliyah
menjadi masyarakat Ilahiyah, memberikan contoh kepada manusia tentang
kepemimpinan
(leadership dan management), dan politik, bagaimana sebaiknya
memerintah
dan mendirikan negara. Karena itu sungguh tepat sekali jika dikatakan
bahwa
Islam adalah motivator kemajuan, dan Al-Qur‟an adalah soko guru Ilmu
Pengetahuan,
sebagaimana firman Allah :
نََٔ أَ
بًَََّ فِٙ الأزْضِ يِ شَجَسَةٍ أَقْلاوٌ أَنْبَحْسُ َٚ دًُُّ يِ بَعْدِ سَبْعَتُ
أَبْحُسٍ يَب فََِدَ ثْ كَهِ بًَثُ اللََّّ Artinya :Meskipun semua
kayu-kayuan di bumi dijadikan pena, dan semua lautan dijadikan tinta,
untuk
menuliskan apa-apa yang dalam Al-Qur’an, kemudian ditambahkan tujuh lautan
lagi,
niscaya
akan habislah tintanya sebelum selesai penulisannya.
Jika
masalah muamalat adalah hal yang mengatur hubungan antar sesama manusia
sedang
nash-nash yang mengaturnya sangat terbatas dan hanya berupa ketentuan
umum
saja, sedang menurut azaz Hukum Islam bahwa segala sesuatu yang tidak
ada
nash padanya maka hukumnya adalah mubah.
Dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang berwajah majemuk dan berada
dalam
masa transisi dari alam tradisional ke alam modern, mengakibatkan banyak
terjadi
perubahan sosial. Kemudian dihubungkan dengan kenyataan bahwa proses
imitasi
dalam interaksi sosial terus berjalan;“keadaan yang ambivalen sabagai dua
moral
force yang saling menarik dan berlawanan secara diametral, yaitu jiwa sentris
yang
bergaya kebatinan dan materi sentris yang berpola konsumsi mewah”( Sukanto
1978:
33); maka umat Islam Indonesia dituntut untuk lebih jeli menatap
perubahanparubahan
sosial
yang terjadi serta bersikap lebih selektif dalam mengadaptir nilainilai
untuk
selanjutnya mengaktualisasakan nilai-nilai Islam.
Karena
Islam menginginkan modernisasi yang utuh yakni pengembangan
dibidang
material yang diimbangi dengan ketaqwaan. Sehingga akan terciptalah
masyarakat
adil dan makmur yang diridlai Allah. Perimbangan unsur Ilahiyah
dan
unsur Insaniyah dengan implikasi harmonis, akan membawa kepada
modernisasi
yang utuh, itulah ciri modernisasi Islam. Allah berfirman :
فإذا قضيت
اىصلاة فا تّشروا في الأرض وابتغوا فضو الله.
(Apabila
kamu telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi untuk
mendapatkan
karunia (keutamaan Allah). (Q.S. Al-Jumu’ah : 10)
Prinsip
perimbangan ini adalah sejalan dengan tujuan Allah menciptakan
manusia
yakni sebagai pemegang kepercayaan ( wakil) Allah untuk mengolah dan
mengurus
bumi (untuk comfort) didunia yakni sesuai dengan kehendak Allah.
Pengintegrasian
ajaran sosial kemasyarakatan (muamalah) dari luar Islam dapat
dibenarkan
sepanjang tidak merusak perimbangan unsur Ilahiyah dan unsur
Insaniyah
dan nilai kemanusiaan (Moralitas Islam) baik secara langsung maupun
tidak
langsung.
Sehubungaqn
dengan itu dalam pergaulan sehari-hari antar sesama pemeluk
agama
di Indonesia, sesuai dengan prinsip toleransi dan kemerdekaan beragama,
Ummat
Islam Indonesia dituntut untuk menghormati pemeluk agama lainnya.
Dengan
prinsip saling menghormati antar sesama pemeluk agama ini, tentu
kehidupan
sosial kemasyarakatan akan berjalan dengan harmonis dan kondusif.
Sehingga
kerukunan hidup umat beragama dapat terpelihara dan berjalan dengan
baik.
Kondisi ini adalah merupakan sumbangan yang cukup berarti dari umat
beragama
(Islam) bagi kelangsungan pembangunan nasional.
BAB 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Kerukunan antarumat
beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan
oleh bangsa yang
majemuk dalam hal agama. Kerukunan antarumat beragama dalam pandangan Islam
(seharusnya) merupakan suatu nilai yang terlembagakan dalam masyarakat. Jika
toleransi beragama tidak
ditegakkan, bangsa
atau negara tersebut akan menghadapi berbagai konflik
antarpemeluk masing-masing
agama dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional.
Daftar Pustaka